Sejarah Turun Dan Penulisan Al-Qura'an
![]() |
quotessurga.blogspot.com |
A. PENGERTIAN AL-QUR’AN
Al-Qur’an secara etimologi merupakan bentuk mashdar
(Verbal noun) yang diartikan sebagai isim maf’ul yaitu Maqru’ berarti “yang
dibaca”. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata Qur’an adalah kata sifat
dari Alqur’ berarti “mengumpulkan” (Al-jam’), atau Musytaq dari Alqara’in atau
qarana.
Sedangkan menurut terminologi Al-Qur’an adalah “Kalam Allah yang diturunkan
kepada nabi-Nya, Muhammad, yang lafadz-lafadznya mengandung mukjizat,
membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang
ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat Al-Fatihah dan diakhiri surat
An-Nas.
B. HIKMAH DIWAHYUKANNYA AL-QUR’AN SECARA BERANGSUR-ANGSUR
Al-Qur’an diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22
hari, yaitu mulai malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi, sampai 9
Djulhijjah haji Wada’ tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.
Menurut Al-Zarqani dalam manahil Al-Irfan berpendapat bahwa proses turunnya
Al-Qur’an terdiri atas tiga tahapan yaitu :
1. Al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah Ke Lauh Al-Mahfuzh, yaitu suatu
tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah,
berdasarkan firman Allah dalam Q.S. Al-buruj ayat 21-22.
Artinya : “Bahkan
yang didustakan mereka ialah Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam lauh
al-mahfuzh” (QS.Al-Buruj : 21-22).
2. Al-Qur’an diturunkan dari Lauh Al-Mahfuzh ke Bait Al-Izzah( tampat yang
berada di langit dunia), sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qadar ayat 1.
Artinya : ”Sesungguhnya
Kami telah menurunkan-nya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan”
3. Al-Qur’an diturunkan dari Bait Al-Izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan
berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Hal ini diisyaratjkan dalam Q.S.
Asy-Syuaro ayat 193-195:
Artinya : “Dia
dibawa turun oleh ar-ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang diantara orang yang memberi peringatan, dengan bahasa
Arab yang jelas”.
Masa turunnya Al-Qur’an dapat dibagi ke dalam dua periode yaitu :
1.
Perode Pertama Disebut Periode Makiyah
Yaitu ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi Muhammad
masih bermukim di Mekah, yaitu 12 tahun 5 bulan 13 hari yaitu dari 17 Ramadhan
tahun 41 dari kelahiran Nabi.
2.
Perode Kedua Disebut Periode Madaniyah
Yaitu ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi Muhammad hijrah
ke Madinah yaitu selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, yakni dari permulaan Rabiul
awal tahun 54 dari kelahiran Nabi sampai 9 Djulhijjah tahun 63 dari kelahiran
Nabi. Hal ini menandakan bahwa Al-Qur’an mempunyai hubungan dialektis dengan
situasi dan tempat dimana ia diturunkan. Turunnya Al-Qur’an secara
berangsur-angsur mempunyai hikmah dan faedah yang besar sebagaimana dijelaskan
dalam Al-Qur’an surat Al-Furqon ayat 32.
Di samping itu masih banyak pula hikmah yang
terkandung dalam hal diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur sebagai
berikut:
1.
Untuk meneguhakan hati Nabi Muhammad SAW Mengingat watak keras masyarakat
yamg dihadapi Nabi, maka dengan turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur akan
memperkuat hati Nabi.
2.
Sebagai Mukjizat Mengingat banyaknya tantangan yang dihadapi Nabi dari
kaumnya baik dari pertanyaan yang memojokkan. Turunnya wahyu yang
berangsur-angsur itu tidak saja menjawab pertanyaan itu bahkan menantang mereka
untuk membuat sesuatu yang serupa dengan Al-Qur’an.
3.
Untuk memudahkan hafalan dan pemahaman Al-Qur’an. Sekiranya Al-Qur’an turun
sekaligus tentu sulit untuk memahami dan menghafal isinya.
4.
Untuk menerapkan hukum secara bertahap.
5.
Sebagai bukti bahwa Al-Qur’an adalah bukan rekayasa Nabi Muhammad atau
manusia biasa. Meskipun rangkaian ayatnya turun selama 23 tahun tetapi
sistematika dan kandungannya tetap konsisten.
C. PENGUMPULAN AL-QUR’AN (JAM’A-QURAN)
1.
Proses Penghapalan Al-Qur’an
Kedatangan wahyu merupakan
sesuatu yang dirindukan Nabi. Oleh karena itu, begitu wahyu datang, nabi lansung
menghapal dan memahaminya. Dengan demikian Nabi adalah orang yang pertama
menghafal Al-Quran. Tindakan Nabi itu sekaligus merupakan suri teladan yang
diikuti para sahabatya. Imam Al-Bukhari mencatat sekitar tujuh orang sahabat
nabi yang terkenal dengan hapalan Al-Qurannya. Mereka adalah :
1)
Abdullah bin Mas’ud
2)
Salim bin Mi’qal
3)
Mu’adz bin Jabal
4)
Ubai bin Ka’ab
5)
Zaid bin Tsabit
6)
Abu bin As-Sakan
7)
Abu Ad-Darda
2.
Proses Penulisan Al-quran
a)
Pada Masa Nabi
Kedatangan wahyu tidak saja di ekspresikan dalam
bentuk hafalan tetapi juga dalam bentuk tulisan, nabi memiliki sekretaris
pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin
Khatab, Utsman bin Afan, Ali bin Abi tholib, Abban bin sa’id, Khalid bin
Al-walid, dan Muawiyyah bin Abi Sufyan. Mereka menggunakan alat tulis sederhana
dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu. Kegiatan
tulis menulis Al-Qur’an tadi didasarkan pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Muslim yang artinya :
“Janganlah kamu menulis sesuatu yang
berasal dariku, kecuali Al-Qur’an. Barangsiapa telah menulis dariku selain
al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya”(HR. Muslim).
Diantara
faktor yang mendorong penulisan Al-Qur’an pada masa nabi adalah:
1)
Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
2)
Mempresentasikan wahyu dengan cara paling sempurna, karena bertolak dari
hapalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau
sebagian dari mereka sudah wafat.
b)
Penulisan Al-Qur’an pada Masa Khulafa Al-Rasyidin
1)
Pada masa Abu Bakar As-siddiq
Pada dasarnya, seluruh Al-Qur’an sudah ditulis pada
waktu Nabi masih ada. Hanya saja, pada saat itu surat-surat dan ayat-ayatnya
ditulis dengan terpencar-pencar. Dan orang yang pertama kali menyusunnya dalam
suatu mushaf adalah Abu Bakar As-Siddiq. Usaha pengumpulan Al-Qur’an yang
dilakukan Abu Bakar terjadi setelah perang yamamah pada tahun 12 H.
Karena khawatir kelestarian Al-Qur’an hilang, Zaid bin
Tsabit salah seorang sekretaris Nabi yang muda dan pintar ditugaskan untuk
melacak kembali al-Qur’an. Dalam melaksanakan tugasnya Zaid menetapkan kriteria
yang ketat untuk setiap ayat yang dikumpulkannya. Ia tidak menerima ayat yang
hanya berdasarkan hafalan, tanpa didukung tulisan. Sikap kehati-hatian Zaid
dalam mengumpulkan Al-Qur’an atas dasar pesan Abu Bakar: “Dudulah kalian di
pintu masjid. Siapa yang datang kepada kalian membawa catatan al-Qur’an dengan
dua saksi, maka catatlah”.
Riwayat yang berkaitan juga dikeluarkan Ibn Abi Dawud
melalui jalan Yahya bin Abdirrahman bin Hatib yang menceritakan bahwa Umar
berkata yang Artinya:
“siapa saja pernah mendengar beberapa
saja ayat Al-Qur’an dari rasulullah, sampaikalah (kepada zaid). Dan (pada
waktu itu) para sahabat telah menulisnya pada subut, papan, dan pelepah kurma.
Zaid tidak menerima laporan ayat dari siapa pun sebelum diperkuat dua saksi.
Di dalam menerangkan pengertian “dua saksi” riwayat
ini, perlu disimak pendapat Ibn Hajar. Menurut tokoh hadis kenamaan ini,
syahidain (dua saksi) di sini tidak harus keduanya dalam bentuk hapalan, atau
keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat tertentu yang membawa ayat tertentu
dapat diterima bila ayat yang disodorkan didukung dua hapalan dan atau tulisan
sahabat lainnya. Demikian juga, suatu hapalan ayat tertentu yang dibawa oleh
sahabat tertentu baru bisa diterima bila dikuatkan oleh dua catatan dan atau
hapalan sahabat lainnya.
Pemahaman Ibn Hajar tentang syahidain sedikit berbeda
dengan apa yang ditangkap As-Sakhawi (w. 643 H.). Asy-Syakhawi memandang bahwa
syahidain artinya catatan sahabat tertentu mengenai ayat tertentu. Ayat
tertentu yang disodorkan sahabat dapat diterima jika memiliki dua saksi yang
memberikan kesaksamaan bahwa catatan itu memang ditulis di hadapan Nabi.
Pekerjaan yang dibebankan pada pundak Zaid dapat
diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun 13 H.
Setelah Abu Bakar wafat, suhuf-suhuf Al-Qur’an itu disimpan Khalifah Umar dan
ketika Umar wafat, mushaf itu disimpan Hafsa, bukan oleh Utsman bin Afan.
2)
Pada masa Utsman bin Afan
Selama pengiriman ekspedisi militer ke Armenia dan
Azerbaijan, perselisihan tentang bacaan Al-Qur’an muncul di kalangan
tentara-tentara muslim, yang sebagian direktut dari siria dan sebagian lain
dari Irak. Perselisihan ini cukup serius sehingga Khudzaifah melaporkannya
kepada khalifah Utsman (644-656) dan mendesaknya agar mengambil langkah guna
mengakhiri perbedaan tersebut. Khalifah berembuk dengan para sahabat senior
Nabi, dan akhirnya menugaskan Zaid bin Tsabit “mengumpulkan” Al-Qu’ran. Bersama
Zaid, ikut bergabung tiga anggota yaitu: Abdullah bin Zubair, Sa’id bin
Al-‘Ash, dan Abd Ar-Rahman bin Al-Harits.
Satu prinsip yang mereka ikuti dalam menjalankan tugas
ini adalah bahwa dalam kasus kesulitan bacaan, dialek Quraisy suku dari mana
Nabi berasal- harus dijadikan pilihan. Dengan demikian, suatu naskah otoritatif
(absah) Al-Qur’an, yang sering juga disebut mushaf ‘Utsmani, telah ditetapkan.
Sejumlah salinannya dibuat dan dibagikan ke pusat- pusat utama daerah Islam.
Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar
adalah mushaf yang memenuhi persyaratan berikut:
- Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad,
- Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali dihadapan Nabi pada saat-saat terakhir,
- Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf ‘Utsmani,
- Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai dengan lafadz-lafadz Al-Qur’an ketika turun,
- Semua yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan.
Pada Masa Abu Bakar
1.
Motivasi penulisannya adalah khawatir sirnanya Al-Qur’an dengan syahidnya
beberapa penghafal Al-Qur’an pada Perang Yamamah.
2.
Abu Bakar melakukannya dengan mengumpulkan tulisan- tulisanAl-Qur’an yang
terpencar- pencar pada pelepah kurma, tulang, dan sebagainya.
|
Pada Masa
Utsman bin ‘Affan
1. Motivasi penulisannya karena
terjadinya banyak perselisihan di dalam cara membaca Al-Qur’an (qira’at).
2. Utsman melakukannya dengan
menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dan tujuh huruf yang dengannya
Al- Quran turun.
|
- Al-Hadzf (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf)
- Al-Jiyadah (penambahan),
- Al-Hamzah, salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan huruf ber-harakat yang sebelumnya.
- Badal(penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan
- Washal dan Fashal (penyambungan dan pemisahan)
- Kata yang Dapat dibaca dua bunyi
Perbedaan penulisan Al-Qur’an
Pada masa Abu Bakar dan pada masa Utsman adalah sebagai berikut ini :
3)
Penyempurnaan Penulisan Al-Qur’an setelah Masa
Kholifah
Mushaf yang ditulis atas perintah ‘Utsman tidak
memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu
qira’at yang tujuh. Pada masa Khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705),
ketidakmemadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat
itu dan karena itu pula penyempurnaan mulai dilakukan. Dua tokoh yang berjasa
dalam hal ini, yaitu ‘Ubaidillah bin Ziyad (w.67 H) dan Hajjaj bin Yusuf
Ats-Tsaqafi (w.95 H).
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus,
tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H. Ketika
proses penyempurnaan naskah Al-Qur’an selesai dilakukan tercatat tiga nama
orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf ‘Utsman, yaitu Abu
Al-Aswad Ad-Dauli, Yahya bin Yamar, dan Nashr bin ‘Ashim Al-Laits. Adapun
orang-orang yang pertama kali meletakkan hamzah, tasydid, Al-raum, dan
Al-isymam adalah Al-Khalid bin Ahmad Al-Farahidi Al-Azdi yang diberi kunyah Abu
Abdirrahman.
D.
RASM AL-QUR’AN
1.
Pengertian Rasm Al-Qur’an
Yang dimaksud dengan rasm Al-Qur’an atau rasm ‘Utsmani
adalah ilmu/tata cara yang mempelajari tentang penulisan Al-Qur’an yang
dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafadz-lafadznya maupun
bentuk-bentuk huruf yang digunakannya, yang ditetapkan pada masa khalifah ‘Utsman
bin Affan. Para ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :
2.
Pendapat para Ulama Sekitar Rasm Al-Qur’an
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai status tata cara penulisan Al-Qur’an
:
a) Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani
itu bersifat tauqifi, yakni bukan produk budaya manusia yang wajib diikuti
siapa saja ketika menulis Al-Qur’an.mereka juga memandang bahwa rasm ‘Utsmani
memiliki rahasia-rahasia yang sekaligus memperlihatkan makna-makna yang
tersembunyi.
b) Sebagian besar ulama berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani
bukan tauqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan (ishthilahi) yang
disetujui “Utsman dan diterima umat, sehingga wajib diikuti daan ditaati siapapun
yang menulis Al-Qur’an.
c) Sebagian lagi dari mereka berpendapat bahwa rasm
‘Utsmani bukanlah tauqifi. Tidak ada halangan untuk menyalahinya tatkala suatu
generasi sepakat menggunakan cara tertentu untuk menulis Al-Qur’an yang
nota-benenya berlainan dengan rasm “Utsmani.
Berkaitan dengan ketiga pendapat di atas, Al-Qaththan memilih pendapat
kedua karena lebih memungkinkan untuk memelihara Al-Qur’an dari perubahan dan
penggantian hurufnya. Seandainya setiap masa diperbolehkan menulis Al-Qur’an
sesuai dengan tren tulisan pada masanya,menurutnya, perubahan tulisan Al-Qur’an
terbuka lebar pada setiap masa. Padahal, setiap kurun dan waktu memiliki tren
tulisan yang berbeda-beda.
KESIMPULAN
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW dengan cara berangsur-angsur. Sejarah Turun Dan Penulisan Al-Qura'an ketikan wahyu turun, Nabi
selalu menyuruh para sekretarisnya untuk menulisnya baik di daun-daun, pelepah
kurma, tulang-tulang dan lain sebagainya. Setelah Nabi wafat, Abu Bakar
memerintahkan Zaid bin Tsabit dan kawan-kawannya agar mengumpulkan suhuf-suhuf
Al-Qur’an untuk dijadikan sebuah mushaf. Dan pada masa Usman bin Affan mushaf
itu disalin atau diperbanyak dan diletakkan di beberap pusat kota kekuasaan Islam
untuk mempersatukan lahjah (logat) umat islam dalam membaca Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
DR. Rosihon Anwar, M.Ag, Ulum
Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2008
http://runasa.blogspot.com
http://msiuii.wordpress.com/2010/10/12/sejarah-pemeliharaan-al-quran
0 Komentar